Mengapa Muhammadiyah dapat bertahan bahkan terus berkembang sampai hari ini ?. Padahal usia Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad. Salah satu jawabannya adalah karena Muhammadiyah selalu dapat menjadi solusi pada setiap kebutuhan umat. Setidaknya itulah kesimpulan yang penulis dapat dari beberapa edisi Suara Muhammadiyah dari tahun 1915 – 1940 an dan majalah Suara Muhammadiyah edisi agak baru yang sempat dibaca penulis.
Tentu saja ini hanya salah satu jawaban diantara sekian banyak jawaban yang lain yang jauh lebih tepat dengan analisa berbagai teori ilmu yang berkembang hari ini.
Sebagai organisasi yang dirintis oleh orang Jawa dan bertitik tolak di wilayah ibu kota Jawa (Yogyakarta), Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dengan berbagai adat yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Jawa. Misalnya ana catur mingkur ana bapang nyimpang (tidak melayani ajakan atau provokasi untuk melakukan pertengkaran). Seloka ini sangat akrab dengan tradisi Jawa. Yakni tidak suka berkonflik serta menghindari upaya provokasi pihak lain. Muhammadiyah sejak generasi awal hingga kini masih menganut filosofi ini.
Walaupun tidak dinyatakan dalam dokumen apapun, banyak kebijakan Pimpinan Muhammadiyah yang terekam di dalam Suara Muhammadiyah menyatakan hal ini. Misalmya pada masa asal berdirinya, Muhammadiyah terus diprovokasi dan difitnah oleh berbagai pihak seperti dituduh sebagai agen atau cabang Wahabi, sebagai Islam Blesteran Kristen (karena sekolah pakai bangku dan pakai celana saat shalat, juga khutbah Jum’at pakai bahasa Jawa, serta menghalalkan sepak bola). Muhammadiyah tidak pernah melayani tudingan-tudingan semacam itu.
Alih-alih melayani perdebatan, Muhammadiyah terus fokus bekerja mengembangkan berbagai amal sosial yang ditekuninya. Kalau ada yang masih ngeyel, para tokoh itu hanya disarankan untuk membaca AD ART dan buku-buku tentang Muhammadiyah. Dalam buku karya Abdul Munir Mulkan berjudul Pesan dan Kisah Kiai Dahlan Dalam Hikmah Muhammadiyah (terbitan Suara Muhammadiyah, 2007) ditulis, saat mendengar laporan berita yang tidak benar tentang Muhammadiyah, Kiai Dahlan hanya berkomentar :”Jarno bae, sing gawe goroh mongso betaho, bakal kaweleh, tur bosok ilate” (biarkan saja, yang berdusta tidak akan tahan, bahkan terbongkar dan lidahnya akan membusuk).
Demikian pula ketika orang-orang Islam saat itu asyik dan suka berdebat tentang hukum-hukum fiqh. Muhammadiyah tidak mau terjebak ke dalam perdebatan yang tidak produktif itu. Muhammadiyah malah mengingatkan kalau di sekitar kita masih banyak orang yang harus menerima zakat bahkan jumlahnya semakin banyak.
Hal ini setidaknya dapat kita baca dalam tulisan Drijo Wongso yang berjudul Roomsch Katholiek Berartie dalam Suara Muhammadiyah nomor 9 tahun 1926 di sini Sekretaris PKO pertama menyatakan :Apa kita umat Islam belum puas bertengkar mulut, tetapi bertongkat ruas ?. Singkat tapi menyodok ke ulu hati.
Pernyataan Drijo Wongso ini seperti memperkuat tulisan AD Hannie yang berjudul Agama Islam yang dimuat Suara Muhammadiyah tahun 1921 ketika menjawab keluh kesah pembaca yang menyoroti kegemaran umat Islam yang suka berselisih dengan sesamanya yang seakan-akan hampir semua aspek kehidupan selalu diperselisihkan.
Di sini pimpinan redaksi Suara Muhammadiyah kala itu menulis ”Memang benar celaka dan terpuruknya orang Islam itu terbawa dari kesukaan berselisih. Karena kitab yang dipelajari adalah kitab yang memicu perselisihan, diajarkan oleh guru yang suka menangkarkan bibit
perselisihan”.
Pada banyak kesempatan , Prof. Malik Fajar (Allahu Yarham) juga sering mengingatkan agar dalam mengurus apapun, warga Muhammadiyah selalu menjauhkan diri dari pertengkaran. Mantan Menteri Agama, Menteri Pendidikan, juga mantan Menteri Kesra ini selalu menekankan kalau pertengkaran (apapun alasannya) itu hanya akan menjauhkan kita dari keberkahan.
Barangkali inilah yang menjadikan Muhammadiyah yang sedikit bicara dan banyak bekerja serta benci terlibat pertengkaran dengan siapapun.
(Isngadi Marwah Atmadja, dalam Suara Muhammadiyah 22/105, 16 – 30 November 2020: 21).
0 Komentar