Manusia diciptakan di muka bumi ini memiliki kelebihan dan kekurangan dari yang lain. Dengn kelebihan itu seyogyanya manusia bersyukur.Sebaliknya, dengan adanya kekurangan selayaknya mereka itu sabar. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari bahwa tidak sedikit orang yang diberi kelebihn justru merendahkan orang lain. Orang bisa sombong lantaran diberi kelebihan harta, kekuasaan, jabatan, keturunan, dan lainnya.
Memang ada orang yang diberi kelebihan harta entah itu dari usaha sendiri, penemuan, atau warisan. Dengan harta dikira semua bisa diperintah dan dibentak-bentak sesuai kemauannya. Kadang tidak disadari bahwa harta yang dikejar sejak bangun tidur sampai tidur lagi justru bisa menjebak dan menipu bagaikan fatamorgana.
Kisah Qarun menjadi pelajaran berharga bagi mereka yang menyombongkan harta. Qarun diberi anugerah harta melimpah. Qarun beranggapan bahwa kekayaan itu bukan dari Allah Swt, tetapi kekayaan itu katanya diperoleh dari kerja kerasnya. Dalam Q.S. Al Qashash : 76 disebutkan :”Sesungguhnya Qarun (salah seorang anak paman Nabi Musa a.s.) termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku dzalim terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya “Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri”.
Karena kesombongan harta dan inkar atas anugerah Allah, maka Qarun akhirnya mengalami nasib yang mengenaskan. Kisah akhir hidup Qarun ini dinyatakan dalam Q.S. Qashash: 81 yang artinya :”Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri “.
Ternyata harta yang dicari siang malam itu apabila tidak hati-hati justru akan mengenaskan pemiliknya. Tanah luas, rumah mewah, mobil model mutakhir, tahu-tahu disita negara. Hal ini bisa terjadi karena dalam menjalankan kehidupan dan kekuasaan tidak amanah. Mereka bangga memamerkan kekayaan di depan publik. Namun ujung-ujungnya mengakhiri hidupnya di balik terali besi.
Demikian pula dengan pangkat dan jabatan, yang kadang membuat orang menjadi pongah dan sombong. Ketika ingin meraih jabatan, mereka mengumbar janji simpati. Berbagai cara mereka tempuh untuk menjadi pejabat penting. Sejak tidur di makam-makam tokoh, tempat yang angker sampai mandi kembang tiap malam Jum’at. Bahkan minta wangsit ular di suatu sendang. Nah setelah berhasil menjadi orang yang merasa penting, lalu muncul sikap sombong, angkuh, arogan. Mereka beranggapan bahwa dengan jabatan itu semua bisa diatur. Tak malu lagi melanggar undang-undang dan menabrak etika.
Pemegang jabatan dan kekuasaan perlu hati-hati. Sebab semua itu ada batasnya dan banyak yang mengawasinya. Bila tidak hati-hati, justru jabatan dan kekuasaana itu akan menjadi bumerang. Bukan husnul khatimah yang diperoleh, tetapi justru su’ul khatimah yang didapat pada akhir kekuasaan.
Fir’aun yang sombong kekuasaan dan mengaku dirinya Tuhan itu ternyata akhir hidupnya mengenaskan karena tenggelam di Laut Merah. Fir’aun telah menunjukkan kekejaman dan keangkuhannya dengan membunuh anak-anak laki-laki yang baru lahir dan membiarkan hidup anak-anak yang lahir perempuan.. Arogansi dan kesombongan Fir’aun ini dikisahkan dalam Q.S. Al Qashash: 4 “Sungguh Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israel), dia menyembelih (membunuh) anak-anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka, Sungguh dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan”.
Kepongahan, arogansi, dan kesombongan Fir’aun ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita bahwa akhir perilaku sombong adalah kehinaan dan kenistaan. Apalah artinya sombong jabatan kalau toh jabatan itu akan berakhir. Pada saatnya nanti akan kembali menjadi warga negara biasa. Bila waktu menjabat sewenang-wenang, maka isteri bisa melayang, anak terlantar, namapun dilupakan orang, harta musnah, dan akhir hidup merana di penjara. Nasib akhir Fir’aun dikisahkan dalam Q.S. Al A’raf: 136, yang artinya:” Maka Kami hukum sebagian di antara mereka, lalu Kami menenggelamkan mereka karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan melalaikan ayat-ayat Kami”.
Lasa Hs.
0 Komentar