Salah satu nasihat orang-orang tua kita dalam
bahasa Jawa :ajining diri ana ing lati.
Ajining raga ana ing busana. Artinya bahwa nilai diri itu tergantung pada
ucapan/mulut. Nilai jasmani itu dipengaruhi oleh sesuatu yang melekat (dapat
dilihat mata) pada diri orang. Busana itu
pakaian
Ucapan,
pernyataan, tulisan, dan bahasa yang digunakan menunjukkan siapa sebenarnya
diri orang itu. Apabila ucapannya menenteramkan, baik, benar, dan sopan maka
orang itu akan dihormati. Bila ucapan seseorang itu menyakitkan, meresahkan,
memanas-manasi situasi, provokatif, dan jorok, maka orang akan risi mendengarnya. Hal ini
akan mengurangi wibawa/nilai seseorang dalam masyarakat. Mungkin orang akan
membencinya. Bahkan bisa ditinggalkan
oleh simpatisannya.
Al
Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi
orang-orang yang taqwa memberikan tuntunan untuk berkata dengan kata-kata yang
lembut (layyinan), kata yang benar (sadidan), kata yang baik dan pantas (ma’rufan), kata yang indah dan santun (kariman), kata ringkas bermakna (balighan), dan kata yang komunikatif/mudah
dimengerti (maysuran).
Kata-kata
yang layyinan adalah kata-kata yang
lembut, sopan, tidak jorok, dan beradab. Kata-kata yang sadidan adalah kata yang mengandung kebenaran isi, tatabahasa, dan
redaksionalnya. Kata-kata yang ma’rufan adalah
perkataan yang baik dan pantas diucapkan (di muka publik, terbatas, medsos,
media cetak, tatap muka). Sebab kata pepatah Arab: likulli maqalin mahalun, walikulli mahalin maqalun. (kata-kata
tertentu diucapkan dalam situasi dan konsisi yang sesuai, setiap situasi dan
kondisi tertentu memang ada kata-kata yang sesuai). Kata-kata kariman
adalah perkataan yang mengungkapkan sesuatu dengan indah, santun, penuh
kemuliaan, pujian, dan sejuk didengarkan. Kata-kata balighan adalah pengungkapan kata yang ringkas dan penuh
makna, dan tidak bertele-tele.
Rasulullah
Saw sebagai panutan kita memberikan nasihat untuk berkata yang baik. Kalau kita
memang mengaku sebagai umatnya, semestinya mengikuti nasihat beliau antara lain
dengan berkata yang baik. Dalam salah satu sabdanya, beliau menyatakan “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir janganlah menyakiti tetangganya,
hendaknya memuliakan tamunya, dan berkata yang baik,
(kalau tidak bisa berkata baik) hendaknya diam” (H.R. Sahih al Bukhari dari Abu
Hurairah).
Wibawa
seseorang secara jasmani sering dilihat dengan tingkat ekonomi, status sosial,
jabatan, rumah, dan keberhasilan anak keturunan dan lainnya. Maka tidak sedikit
dalam pengejaraan nilai lahiriyah ini dengan berbagai cara.
Memang diakui bahwa hal-hal yang kasat mata (lahiriyah) kadang digunakan sebagai ukuran eksistensi diri agar bernilai dalam masyarakat.
Pada sebagian komunitas/masyarakat bahwa nilai
seseorang secara lahiriyah (ajining raga) dinilai dari aspek yang tangible (kasat mata). Nilai ini
ditengarai sekurang-kurangya dengan garwa
(istri/suami), putra (anak
keturunan), wisma (rumah/tempat tinggal), turangga (kendaraan/transportasi) ,praja (kedudukan, pangkat, derajat, jabatan), dan
kukilo (burung/hobi)
Memang,
orang ingin eksis dalam pergaulan dan ini merupakan bentuk pemenuhan
aktualisasi dan harga diri. Orang yang memiliki harga diri cukup/tinggi akan
percaya diri dan akan lebih produktif. Sebaliknya, orang yang kurang memiliki
harga diri akan berakibat bersikap rendah diri, merasa tidak berdaya,
keputusasaan, dan perilaku neurotik.
Bersambung
Lasa Hs
0 Komentar