Percaya atau tidak percaya bahwa kematian itu merupakan keiscayaan.
Kemanapun manusia pergi atau mau menghindar dari kematian, kalau sudah saatnya
mati maka orang tidak bisa mengelak. Kemampuan manusia lari untuk menyelematkan
diri kalau sudah sampai jatahnya mati, maka mautpun akan menjemputnya. Namun
kalau belum saatnya ajal, maka tertimbun reruntuhan bangunan sehari semalampun
tetap hidup. Hal ini diingatkan oleh Allah dalam Al Quran S. Al Jumu’ah: 8:
“Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti
menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Maha
Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia Beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan”.
Kematian dari satu sisi diartikan
pisahnya roh dari jasad sehingga tubuh manusia tidak dapat melakukan fungsinya
lagi.Kematian inilah yang dianggap
sebagai musibah besar bagi sebagian orang dalam perjalanan hidup
manusia. Namun melupakan kematian merupakan bahaya yang lebih besar lagi.
Mati dalam arti lain adalah tidak
berfungsinya potensi manusia dalam kehidupan ini meskipun roh masih menempet
jasad manusia. Seorang politikus yang tidak lagi aktif atau tersingkir dari panggung
dan sistem politik, maka bisa dikatakan mati karir (politiknya). Seorang
olahragawan yang tidak lagi aktif di bidangnya, entah sebagai pelaku, pengamat,
atau penulis bidang olah raga, berarti juga telah mati profesinya. Demikian pula
pemilik ilmu, bidang, dan keahlian tertentu. Apabila mereka tidak lagi
berkecimpung dan tidak mengembangkan bidang mereka, maka orang ini sebenarnya
telah mati (ilmu, bidang, keahlian, pikiran) dalam hidup (roh) nya. Inilah yang
dimaksud dengan “janganlah mati sebelum mati”, atau “jangan mati dalam hidup”
Kematian dalam hal ini
adalah ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk memanfaatkan potensi diri
bagi kemanfaatan pihak lain. Padahal setiap orang memiliki potensi diri yang
bisa berupa harta, tenaga, pengalaman, kekuasaan, ilmu, dan pengaruh. Potensi ini apabila
dimanfaatkan secara optimal akan memberikan makna tersendiri dalam kehidupan.
Bahkan dalam jangka panjang dapat mengembangkan potensi orang lain.
Mereka yang tidak mau dan tidak mampu mengoptimalkan potensi diri untuk
orang lain, sebenarnya kurang memahami hakekat hidup.. Makna hidup manusia
hendaknya tidak kalah dengan makna hidup pohon pisang. Pohon pisang sebelum
berbuah, lebih dulu memiliki anakan. Hal ini dapat dipahami bahwa sebelum
generasi tua turun panggung dari pentas dunia ini, maka perlu menyiapkan
generasi penerus. Setelah anakan pohon pisang ini tumbuh, barulah pohon pisang
itu berbuah. Setelah pohon pisang itu berbuah , nanti pada saatnya akan
ditebang. Disiniliah makna pohon pisang yang dapat menyiapkan generasi penerus,
dan memberi manfaat pada kehidupan sebelum kematian (ditebang).
Pemanfaatan potensi diri ini perlu kesadaran tinggi bahwa hidup harus
memberikan makna. Bukankah sebaik-baik orang itu yang mampu memberikan
makna/manfaat bagi sebanyak-banyak orang. Apabila orang tidak mau dan tidak
mampu memanfaatkan potensi diri secara optimal, maka hal itu merupakan suatu
kerugian. Sebab poteni diri itu mati.
Harta yang diburu
sejak bangun tidur sampai tidur lagi itu bisa menjadi kenikmatan tersendiri.
Namun apabila tidak bisa menyikapinya dengan arif, maka bisa-bisa harta itu
justru menjadi malapetaka. Apabila orang mampu memanfaatkan potensi harta
sesuai ajaran Islam, maka harta itu akan menjadi kendaraan keselamatan sampai
kampung akhirat. Kiranya perlu disadari bahwa harta yang kita makan akan
menjadi kotoran, jika diwariskan kadang menjadi rebutan, tetapi kalau
disedekahkan/infakkan justru itu yang akan menyelematkan kita.
Mereka yang mengumpulkan harta hanya untuk kepentingan di dunia ini,
sebenarnya mereka itu gila harta. Mereka itu tidak cinta harta. Orang gila itu
tertawa, menangis,ngomong, teriak-teriak, bahkan menangis sendiri. Artinya
pemburu harta itu menikmati dunianya sendiri sambil tertawa, teriak, bahkan
menangis sendiri, dan tidak peduli dengan dunia orang lain. Demikian pula
halnya dengan orang yang gila harta yang tidak jauh berbeda dengan orang yang
gila beneran.
Lain halnya dengan orang yang betul-betul cinta harta. Harta yang
dimilikinya tidak sekedar dinikmati di dunia ini. Sebagian memang untuk
memenuhi sekedar kebutuhan hidup di dunia yang hanya sementara ini. Sebagian
lagi mereka gunakan sebagai bekal dalam perjalanan yang sangat jauh. Mereka
ingin memiliki bekal yang banyak untuk menempuh perjalanan yang sangat panjang
nanti.
Bersambung
Lasa Hs
0 Komentar