FATMAWATI (5 Februari
1923 – 14 Mei 1980) adalah putri dari
pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah.
Ia lahir di kampong Pasar Malabero Bengkulu.
Beliau dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang
Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Beliau juga seorang pegawai perusahaan milik
Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij). Perusahaan ini merupakan
salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu.Sedangkan
Ibu Siti Chadijah adalah aktifis ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu.
Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan
menulis Alquran pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama
Islam. Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya terutama seni membaca Alquran
dan sangat supel dalam bergaul. Kepintarannya membaca Alquran pernah
ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936.
Ketika beliau berumur 6 (enam) tahun
, ia masuk Sekolah Gedang (sekolah rakyat), namun kemudian pindah ke HIS
(Hollandsche Inlance School), sekolah berbahasa Belanda (1930). Ketika duduk di
kelas 3 (tiga), Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke HIS Muhammadiyah.
Fatmawati sejak remaja sudah aktif di Muhammadiyah melalui Nasyi’atul
Aisyiah/NA
Bertemu Bung Karno
Fatmawati bertemu dengan Bung Karno dimulai
tahun 1938. Saat itu, Bung Karno dipindahkan oleh Kolonial Belanda dari
Pengasingan di Ende (Flores) ke Bengkulu. Bersamaan itu, keluarga Hasan Din
pindah ke Bengkulu setelah 3 (tiga) tahun tinggal di Curup. Kepindahan ini
karena hasrat Hasan Din untuk mengenal lebih dekat pada Bung Karno yang sangat
dikaguminya itu.
Bung Karno ketika di Bengkulu aktif
di Persyarikatan Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Bagian
Pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatannya di Muhammadiyah inilah maka
persahabatan keluarga Hasan Din dan Bung Karno semakin akrab. Mereka saling
berkunjung dan Fatmawati sering diajak ayahnya untuk bersilaturrahmi dengan
Bung Karno. Pada masa itu, Bung Karno ditemani isterinya bernama Inggit
Garnasih, wanita berasal dari Bandung dan anak angkatnya bernama Ratna Juami.
Dari saling
silaturrahmi yang semakin akrab inilah, lama kelamaan Bung Karno tertarik pada
Fatmawati. Dari sini Bung Karno ingin memperistri Fatmawati. Namun Fatmawati
berkeberatan karena Bung Karno telah beristri Inggit Garnasih. Sedangkan Inggit
Garnasih yang telah menikah 18 tahun belum ada tanda-tanda hamil.
Dalam perkembangannya dengan berbagai pertimbangan, Fatmawati menerima
lamaran Bung Karno dengan syarat tidak mau dimadu. Maka secara baik-baik,
Inggit diceraikan dan diserahkan kepada orang tuanya di Bandung. Akhirnya Fatmawati
menikah dengan Bung Karno di Bengkulu tanggal 1 Juni 1943.
Sebagai isteri seorang pejuang, Fatmawati mendampingi Bung Karno yang
sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ketika Proklamasi Kemerdekaan
dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati
telah dikaruniai putra pertama yang diberi nama Guntur yang kemudian dikenal
dengan Guntur Sukarno Putra. Para petinggi Jepang saat itu menyambut gembira
atas kelahiran putra pertama itu. Bahkan Jendral Yamamoto menyebut Guntur
dengan nama Osamu.
Saat itu, Fatmawati menyaksikan
bendera Merah Putih berkibar pertama kali
di bumi pertiwi. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati. Ketika
secara resmi Bung Karno diangkat sebagai Presiden RI yang pertama, maka
otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara yang harus mendampingi Bung Karno dalam
berbagai kegiatan resmi kenegaraan. Seusai pembacaan naskah Proklamasi, situasi
Jakarta semakin gawat, sehingga pada tanggal 19 September 1945 Bung Karno
berpidato di lapangan Ikada Jakarta yang dihadiri oleh ribuan rakyat.
(Lasa Hs)
0 Komentar