Perjuangan di Indonesia.
Setelah lulus dari Universitas Darul ‘Ulum pada
tahun 1936, Kahar Mudzakir kembali ke Indonesia. Beliau aktif di Muhammadiyah,
dan diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Disamping itu,
beliau juga aktif dalam bidang politik.
Pada mulanya, beliau diminta memberikan ceramah kepada
para anggota Parindra di Yogyakarta. Maka sesuai dengan asas hidupnya, kemudian
beliau ikut berperan serta dalam Partai Islam Indonesia (PII) yang berpusat di
Yogyakarta. Saat itu, PII diketuai oleh Dr. H. Sukiman Wiryosanjoyo dan Wiwoho
Purbohadijoyo dengan Sekretaris Jendral Mr.R.H.A. Kasmat.
Di masa pendudukan Jepang, Kahar Mudzakir dipercaya
sebagai Wakil Kepala Kantor Urusan Agama (Gunseikanbu Syumbu Zicho). Mulai saat
itulah, beliau memiliki hubungan dengan pemimpin-pemimpin nasional Indonesia
seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan lainnya. Maka dalam kedudukannya sebagai
tokoh Islam, beliau dipercaya duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) bersama dengan tokoh-tokoh lainnya. Dalam perjalanannya,
beliau termasuk salah seorang penanandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter)
pada tanggal 22 Juni 1945. Penandatangan lain adalah; Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, K.H.Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. A.Subardjo, Mr.
Maramis, Mr. Mohammad Yamin, dan Kahar Mudzakir. Tim ini kemudian dikenal
dengan Tim Sembilan.
Pada detik-detik menjelang kemerdekaan, para tokoh umat
Islam telah memikirkan pentingnya umat Islam memiliki perguruan tinggi Islam.
Maka para tokoh Islam saat itu menyelenggarakan pertemuan yang membahas
berdirinya perguruan tinggi Islam. Petemuan yang diketuai oleh Bung Hatta itu
membentuk pengurus pendirian perguruan tinggi Islam dengan Mr. Suwandi sebagai
Wakil Ketua, Dr. Ahmad Ramali sebagai Sekretaris, dan para anggota terdiri
dari; K.H. Farid Ma’ruf, K.H. Fathurrahman Kafrawi, Kartosudarmo, dan Kahar Mudzakir.
Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam yang mulai
dibuka pada tanggal 8 Juli 1945 berlokasi di Gedung Kantor Imigrasi Pusat
Gondangdia Jakarta. Dalam hal ini, Kahar Mudzakir dipercaya sebagai Rektor STI,
sedangkan Bung Hatta sebagai Ketua Dewan Kurator. Perguruan tinggi ini, setelah
kemerdekaan pindah ke Yogyakarta.
Dalam perkembangan selanjutnya, STI ini berubah menjadi
Universitas Islam Indonesis (UII). Sedangkan Fakulas Agama diambil alih oleh
Departemen Agama dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) yang di
kemudian hari ada yang berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
atau Universitas Islam Negeri.
Jabatan Prof. Kahar Mudzakir di UII, selain sebagai
Rektor, juga pernah dipercaya sebagai Dewan Kurator, Dekan Fakultas Hukum, dan
Ketua Panitia pencari dana perlengkapan Universitas Islam Indonesia itu.
Kiprahnya di Muhammadiyah, kecuali pernah menjadi
Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yoyakarta, pada tahun 1958 beliau
memelopori berdirinya Akademi Tabligh Muhammadiyah dan belia sebagai Deknnya.
Dalam perkembangannya, akademi ini berkembang menjadi FIAD Muhammadiyah.
Dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Kahar Mudzakir
menjadi salah seorang pemimpin Angkatan Perang Sabil (APS) di Yogyakarta.
Sebagaimana diketahui bahwa pasukan ini dikenal keberaniannya melawan tentara
Belanda, Untuk itu, APS ini pernah mendapat peghargaan dari Panglima Besar
Jendral Soedirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Dalam bidang politik, Kahar Mudzakir pernah menjadi
anggota KNIP, dan menjadi Ketua Umum Masyumi DIY, bahkan mewakili Masyumi
menjadi anggota Konstituante. Dalam kehidupan kemasyarakatan keagamaan, beliau
pernah menjadi anggota Pengurus Yasma (Yayasan Asrama dan Masjid) yang
mengyrusi Masjid Syuhada Yogyakarta. Juga pernah menjadi Ketua Umum Pusat
Persaudaraan Jamaah Haji Indonesia DIY dan pernah menjadi Penasehat PITI DIY.
Juga pernah menjadi Penasehat Panitia Pembantu Kurban Perang Pembebasan
Palestina dan Masjidil Aqsha Yogyakarta.
Karya tulis beliau yang berupa terjemahan; 1) Pengantar Untuk Memelajari Syariah Islamiyah
(terjemahan dari Al Mad khal Li Dirasatil Fiqhil Islamy) karangan
Prof. Dr.Yusuf Musa; 2) Piagam Persatuan
Bangsa-Bangsa dalam Islam (terjemahan dari Mitsaqatul Umam Wasy Syu’ub) karya Dr. Abdul Fatah Hasan , Wakil Hakim
Tinggi Majelis Daulah Kairo; 3)
Rektor UII pertama kali itu
(8 Juli 1945 – 1960) itu wafat 2 Desember 1973 dalam usia 66 tahun. Beliau
meninggalkan suri tauladan perjuangan dalam politik, Islam, pendidikan, dan
berMuhammadiah. Presiden RI. Ir. Joko Widodo menganugerahkan Gelar Pahlawan
Nasional kepada Prof. K.H. Abdoel Kahar Mudzakir pada peringatan Hari Pahlawan
Nasional 10 Nopember 2019. Tokoh lain yang mendapat Gelar Pahlawan Nasional
tahun ini adalah; Prof. Dr. M. Sardjito, Ruhana Kuddus, Sultan Himayatuddin
Muhammad Saidi, dan DR (HC) MR.
AA.Maramis, dan K.H.Masjkur.
Selesai
(Sumber : 100 Tokoh
Muhammadiyah Yang Mengispirari, 2014 dan Kedaulatan Rakyat 10-11-2019, ditulis
kembali oleh Lasa Hs).
0 Komentar