BADAWI, Ahmad (5
Febrari 1902 - 25 April 1969) adalah putra K.H. Muhammad Fakih (K.H.
Habiburrahman) dengan N. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan). Putra
Kauman Yogyakarta ini masih keturunan Panembahan Senopati. Beliau belajar agama
dari ayahnya sendiri, kemudian pendidikan formalnya dimulai dari Madrasah
Muhammadiyah (1908 – 1913).Madrasah ini kemudian berubah menjadi
Standardschool, lalu menjadi Sekolah Rakyat (sekarang sekolah dasar) yang
didirikan oleh K.H.Ahmad Dahlan. Kemudian pada tahun 1913 – 1915 beliau belajar
kepada K.H. Ibrahim di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar. Setelah selesai
belajar dari pondok ini, lalu belajar ke Pondok Pesantren Termas di bawah
asuhan K.R.H. Dimyati. Untuk menambah pengetahuan ilmu agama Islam, beliau
belajar lagi di Pondok Pesantren Besuk Wangkal Pasuruan. Dari sini ia lalu belajar lagi ke Pondok
Pesantren di Kauman dan Pandean Semarang
Pada
awal kemerdekaan Republik Indonesia, beliau terlibat dalam pergerakan politik
perjuangan bangsa. Pada masa perjuangan ini, beliau bergabung dalam Angkatan
Perang Sabil (APS) dan pernah beroperasi di Sanden, Bantul Tegalayang,
Bleberan, dan Kulon Progo. Pada tahun 1947 beliau diangkat sebagai Imam III
Angkatan Perang Sabil. Beliau juga pernah menjadi anggota Lasykar Rakyat
Mataram dan bergabung dengan batalyon Pati dan Resimen Wirata MPP Gedongan.
Pada masa kepemimpinannya,
Muhammadiyah agak tersendat antara lain disebabkan bahwa tidak sedikit anggota
Muhammadiyah yang menjadi anggota partai Masyumi. Pada saat itu Muhammadiyah
menjadi bidikan Orde Lama. Sikap ini dipengaruhi oleh gosokan-gosokan
orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Orang-orang komunis itu membuat isu
bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang anti Pancasila, anti Nasakom, dan
pewaris Darul Islam/DI Tentara Islam Indonesia/TII. Hal ini dianggap bahwa
Muhammadiyah sebagai batu sandungan keinginan PKI dan antek-anteknya. PKI
selalu memusuhi Islam dan sering menohok dari belakang. Tentunya kita ingat
Peristiwa Madiun, G 30 S/PKI pada September 1965. PKI saat itu sangat licik dan
berusaha dekat dan memengaruhi Bung Karno serta menyebar fitnah bahwa beberapa
tokoh Muhammadiyah (Hamka, Kasman Singodimedjo, Ghazali Sahlan dll) ditangkap
dan dipenjara pada masa pemerintahan Orde Lama.
Memperhatikan kondisi yang gawat dan
membahayakan Muhammadiyah ini, maka pimpinan Muhammadiyah berusaha mendekati
Bung Karno. Alhamdulillah, usaha ini berhasil antara lain dengan diangkatnya
Kiyai Ahmad Badawi sebagai penasehat
Bung Karno. Kedekatan beliau dan Muhammadiyah dengan kekuasaan ini akan menjadi
penyeimbang kekuatan politik saat itu. Pada masa itu terdapat 3 (tiga) partai
besar yang sangat berpengaruh yakni
Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdhatul ‘Ulama (NU), dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Kiyai Badawi tidak hanya membela Muhammadiyah, tetapi juga berjuang
membela umat Islam dan organisasi Islam. Beliau juga berhasil memengaruhi Bung
Karno saat itu untuk tidak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sumbangsih beliau pada Muhammadiyah
cukup besar antara lain bahwa beliau berulang kali duduk dalam jajaran
kepemimpinan PP Muhammadiyah. Kedudukan beliau itu antara lain; sebagai Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Majelis Tarjih dan Ketua Majelis Tabligh. Beliau juga ahli
falak yang dimiliki Muhammadiyah dan dikenal sebagai pendiri Pendidikan Ulama
Tarjih Muhamadiyah (PUTM).
K.H.
Ahmad Badawi wafat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah pada hari Jum’at 25 April
1969 lalu dimakamkan di Karangkajen berdekatan dengan makam K.H. Ahmad Dahlan.
Beliau juga
meninggalkan kekayaan intelektual antara lain berupa buku-buku; 1) Hitungan Dengan Jalan Yang Ke 1 (1940); 2)
Cara Menghitung Hisab Hakiki; 3) Gerhana Bulan (1960); 4) Pengadjian Rakjat; 5)
Nuklan Syu’abul Iman (bahasa Jawa); 6) Nikah; 7) Manasik Haji; 8) Menghadapi
Orla; 9) Jadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanya.
Beliau wafat
pada hari Jum’at tanggal 25 April 1969 di Rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
(Lasa Hs)
0 Komentar