Kalau dulu saya menjadi pejuang mengangkat senjata untuk membela negeri tercinta ini, maka sekarang saya ‘mengangkat’ buku dan majalah bekas yang sudah tidak dipakai orang-orang. Saya minta, saya sampuli rapi-rapi dan saya edarkan bergilir, keliling dari satu rumah ke rumah lainnya, dari satu asrama ke asrama lainnya, dari satu kantor ke kantor lainnya dengan sepeda tua sahabat saya itu, sepanjang ada yang mau membaca. Mudah-mudahan ini menjadi amal jariyah saya sekaligus bentuk ‘mengangkat senjata’ yang bisa Mbah lakukan. Mencerdaskan orang Yogya, melalui aktivitas membaca.” -Mbah Dauzan Farouk-
Bergaul adalah berbahasa. Berbahasa tanpa ada kemampuan memahami dan memahamkan tidak akan menciptakan pergaulan yang bermakna, pergaulan yang gagal berkomunikasi. Dalam berkomunikasi selain menuntut penguasaan bahasa, juga menuntut adanya kemampuan yang lain. Kemampuan itu menyimak, berbicara, membaca serta menulis, berbicara, berhitung, dan paling penting adalah memecahkan permasalahan keseharian menggunakan keahlian tertentu. Kemampuan itu sekarang disebut dengan istilah literasi.
Literasi tidak hanya berkait dengan kegiatan membaca menulis saja, tetapi telah berkembang ke cakupan pengetahuan seseorang berkomunikasi di dalam masyarakat. Di era kebangkitan teknologi saat ini, perangkat komunikasi mengalami lompatan cukup jauh, mampu menimbulkan kesenjangan antara kemampuan menggunakan perangkat dan keahlian berkomunikasi itu sendiri. Dampak negative yang terjadi tidak hanya berhenti pada kegagalan komunikasi, lebih jauh bahkan tidak jarang tercipta konflik yang berujung pada kasus hokum. Tidak tanggung-tanggung, bahkan pemerintah sampai mengundangkannya menjadi Undang-Undang IT.
Kondisi yang sama sebenarnya terus terjadi pada situasi dan kondisi jaman yang terus berubah. Saat ini kendalanya bukan lagi ketidakmampuan membaca dan menulis, tetapi lebih jauh dari itu yaitu kendala kemampuan menggunakan teknologi dan keterbatasan atau ketidaktahuan keahlian dalam berkomunikasi.
Kondisi yang dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan situasi ini juga terpapar pada masa KHA Dahlan. Hanya kendalanya adalah masih rendahnya kebiasaan membaca disebabkan oleh berbagai kondisi. Dapat disebabkan memang tidak atau belum mampu membaca, keterbatasan akses bahan bacaan, atau memang tidak tersedianya bahan bacaan itu sendiri. Akibatnya adalah kesenjangan dan ketidaksiapan masyarakat menghadapi perkembangan jaman. KHA Dahlan bahu membahu dengan istrinya, Siti Walidah, menggerakkan masyarakat laki-laki dan perempuan, anak-anak, muda-mudi sampai yang sudah tua, menggerakkan literasi masyarakat menghadapi situasi jamannya. Gerakan itu dimulai dari Kauman, satu Kampung kecil yang melahirkan banyak tokoh bahkan Pahlawan Nasional. Kampung kecil yang menjadi pelopor gerakan literasi lebih dari seabad yang lalu menginspirasi hingga saat ini. Salah satu dari deretan tokoh-tokoh literasi itu adalah Mbah Dauzan Farouk.
Pria yang dilahirkan pada tahun 1925 di kampung Kauman ini, tentunya mengalami sendiri peperangan fisik bangsa Indonesia dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan. Di masa mudanya, dengan gagah berani ikut memanggul senjata, berperang mengusir para penjajah dari bumi pertiwi. Rela berkorban demi agama, bangsa dan negara, menegakkan kedaulatan, mengangkat harkat, mensejajarkan martabat di tengah bangsa-bangsa yang merdeka.
Semangat dan keikhlasan itu melekat pada diri veteran perang ini di masa kemerdekaan. Kemerdekaan dan usia pensiun tidak dipakainya untuk bersantai apalagi berpangku tangan. Semangat dan inspirasi masa kecilnya ketika membantu ayahnya, H. Muhammad Bajuri dalam mengelola Taman Pustaka Muhammadiyah, pada tahun 1989 mendirikan MABULIR singkatan dari Majalah dan Buku Keliling Bergilir.
Uang pensiun sebagai veteran ditambah tabungan hajinya dihabiskan untuk membeli buku-buku, majalah dan mengelola perpustakaan bergilir yang didirikannya. Bukan Dauzan Farouk jika hanya duduk menunggu pembaca datang membuka buku koleksinya. Dengan sepeda onthel kesayangannya, dihantarkan buku-bukunya berkeliling mengunjungi para pembacanya.
MABULIR didirikannya dengan semangat untuk ikut mencerdaskan masyarakatnya, mengajak membaca, membentuk sikap literal bangsanya. Dipilihnya buku-buku yang bernas dan bermanfaat dengan membacanya terlebih dahulu sebelum dipinjamkannya dari satu tangan ke tangan yang lainnya (secara bergiliran).
Buku-buku yang disiapkannya setiap sehabis Subuh, diperbaikinya yang rusak, dipilihnya yang sesuai dengan sasaran yang akan dikunjunginya. Siang menjelang sore hari, dengan sepeda atau naik bis kota, dibawanya bahan bacaan itu dipinjamkan. Pembacanya mulai dari anak-anak, siswa-siswa di sekolah, remaja masjid, karang taruna, dan orang dewasa. Didatanginya pedagang-pedagang pasar, pangkalan-pangkalan becak, sampai kelompok-kelompok pengajian. MABULIR semakin dikenal, ditunggu, dan memberikan manfaatnya meminjamkan majalah dan buku bacaan.
Perjuangan Dauzan Farouk melalui MABULIR ini mendapatkan perhatian dari banyak pihak. Berragam bantuan dan simpati juga penghargaan diberikan kepada beliau, walaupun bukan itu yang diharapkannya. Tahun 2005 Perpustakaan Nasional memberikan anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka, disusul apresiasi Paramadina Award pada tahun yang sama. Tidak hanya lembaga dalam negeri, dari lembaga luar negeri pun ikut memberikan apresiasinya yaitu lembaga sosial dari Massachussetts, Cambridge yaitu Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation pada tahun 2007.
Bukan penghargaan yang beliau harapkan, bukan pujian yang beliau asakan. Semangat mencerdaskan lingkungannya, kesabaran berkeliling tanpa pamrih duniawi, berkorban tidak hanya harta tetapi juga fisik tuanya. Inspirasi untuk mengajak masyarakat menjadi cerdas, mendidik lingkungan berkehidupan yang bermartabat melalui literasi. Hidup Bapak Dauzan Farouk, pahlawan literasi. (ries)
0 Komentar