Kematian
tak segan-segan menghampiri siapapun dan dimanapun. Nenek tua sedang makan pagi
meninggal karena kejatuhan pintu rumah yang roboh akibat gempa. Seorang abang
becak beranak banyak mendadak meninggal karena tertindih bangunan yang roboh.
Seorang mahasiswa yang pagi itu harus ujian, ternyata meninggal di tempat
tidurnya karena gempa yang dahsyat di pagi hari misalnya.
Kematian
bisa saja menimpa pekerja tambang karena rerunthan tanah. Seorang jama’ah
maghrib padasujud terakhir lama tidak bangun, ternyata setelah diamati dia
telah meninggal. Bisa saja seseorang meninggal di kursi ruang sidang ketika
mengkuti sidan atau pertemuan ilmiah. Kematian dengan cara yang bermacam-macam
itu merupakan bukti kekuasaan Allah yang dalam waktu singkat
Allah memanggil hamaNya yang dikehendaki.
Berangkat
dari kematian yang tidak mesti didahului oleh sakit itu patut
menjadi renungan bahwa kita perlu segera menunaikan amanah. Amanah
berarti kepercayaan. Bila orang diberi amanah berarti diberi kepercayaan. Kata
amanah ini serumpun dengan kata iman. Maka amanah ini lahir dari kekuatan iman.
Bila iman kuat, maka semakin kuat dalam memegang amanah. Tetapi apabila tidak
bisa dipercaya berarti imannya lemah. Jadi antara iman dan amanah ibarat dua
keping mata uang. Dalam hal ini Rasulullah Saw menegaskan dalam sabdanya:”
Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak (sempurna) agama
orang yang tidak menunaikan/menepati janji” (H.R.Ahmad).
Sebagaimana
pengertian istilah lain, maka amanah dapat diartikan secara sempit dan secara
luas. Secara sempit amanah berarti memelihara titipan dan mengembalikannya
kepada pemiliknya seperti semula. Kemudian amanah dalam arti luas mencakup
banyak makna, yakni menjaga diri, menyimpan rahasia, menjaga titipan, menjaga
pemberian Allah Swt, menunaikan tugas dari Allah, dan tidak menyalahgunakan
kekudukan/jabatan
Menjaga Diri
Diri
orang merupakan sesuatu yang berharga. Maka ada pesan jangan sampai menjual
harga diri. Penafsiran harga diri kadang-kadang berlebihan. Mungkin hanya soal
sepele saja justru menjadi tawuran dengan alasan membela harga diri.
Menjaga diri adalah upaya agar diri kita tetap dihormati, memiliki
kewibawaan, diakui eksistensi kita, tetap dihormati, dan dapat dicontoh orang
lain. Orang semacam ini mampu menempatkan dan menyesuaikan diri dalam pergaulan
masyarakat umum maupun masyarakat karirnya.
Menyimpan Rahasia
Masing-masing
individu, rumah tangga, lembaga, bahkan negara memiliki rahasia
sendiri-sendiri. Rahasia ini mungkin merupakan aib tetapi bisa juga rahasia itu
justru merupakan kekuatan atau kekayaan yang disembunyikan. Demikian pula dalam
kehidupan rumah tangga antara suami istri ada hal-hal yang harus menjadi
rahasia. Sampai masalah ranjang pun tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
Seorang
suami yang membeberkan aib istrinya, justru itu merupakan tindakan yang tidak
terpuji. Demikian pula, apabila isteri melakukan konferensi pers tentang penyelewengan
suami misalnya. Tindakan ini sebenarnya justru merusak citra rumah tangga
sendiri. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda yang artinya:” Sesungguhnya
amanah yang paling besar di sisi Allah pada hari kiamat ialah apabila seorang
suami berkumpul dengan isterinya kemudian hal ini disebarluaskan kepada orang
lain tentang rahasia isterinya” (H.R. Muslim).
Menjaga Titipan
Apabila
dititipi barang, anak, harta, pesan, bahkan salam orang lain, maka titipan itu
harus dijaga sebaik-baiknya. Apabila sewaktu-waktu titipan itu diambil oleh
yang menitipkannya, maka titipan itu harus ikhlas untuk mengembalikannya.
Kecuali
itu, apabila kita renungkan penuh kesadaran bahwa harta, anak, ilmu, bahkan
nyawa itu merupakan titipan. Titipan ini sewaktu-waktu akan diminta kembali
oleh Dzat yang Menitipkannya. Kita pun harus ikhlas untuk melepaskannya
meskipun berat di hati.
Dalam
suatu kisah diceritakan bahwa pada masa Rasulullah Saw ada suami isteri yang
saling asah, asih, dan asuh. Suami itu bernama Abu Thalhah dan isterinya
bernama Ummu Salim. Pada suatu hari Abu Thalhah baru pulang dari
berniaga/dagang. Ketika sampai di rumah beberapa saat sebelum kedatangannya,
anaknya meninggal dunia. Ummu Salim tidak segera memberitahukan kejadian itu
kepada suaminya. Sebab sang suami masih capai dan pikirannya belum tenang.
Setelah dihidangkan minuman dan makanan ala kadarnya, lalu istirahat sejenak.
Kemudian Abu Thalhah menanyakan keadaan putranya yang ketika ia pergi kebetulan
anaknya itu sedang sakit. Maka Ummu Salim mengatakan :”Wahai suamiku anak kita
lebih tenang dari sebelumnya. Dikatakan selanjutnya : “Wahai suamiku apabila
apabila seseorang meminjamkan barang kepada seseorang dalam jangka waktu
tertentu, lalu setelah habis masa itu lalu itipan itu diambil oleh pemlinya
melalui seorang utusan. Di satu sisi, peminjam itu masih enggan
mengembalikannya. Berat rasanyaapabila barang titipan itu diambil oleh
pemiliknya. Nahapakah peminjam itu berhak untuk mencegahnya (tidak boleh
diambil). Mendengar ini, Abu Thalhah pun menjawab “Tentu saja tidak”. Lalu Ummu
Salim mengaakan bahwa putra kita telah dipanggil oleh Allah Swt dan kini sedang
berbaring di kamar. Abu Thalhah lalu menghampiri jenazah putranya itu seraya
mengatakan inna lillahi waina ilaii rajiun.
Keesokan
arinya, Abu Thalhah menghadap kepada Rasulullah Saw dan menceritakan apa yang
dikatakan oleh Ummu Salim kepadanya. Beliau bersabda “: Demi Allah yang telah
mengutusku dengan kebenaran, Allah telah melontarkan ke dalam rahimnya seorang
laki-laki sebagai balaan atas kesabarannya ditinggal anaknya.”.
Sungguh
mengagumkan kesabaran Ummu Salim sebagai seorang istri yang menyaari
bahwa semua itu hanya titipan. Beliau memang panai menjaga perasaan suami yang
baru saja pulang dari niaga berbulan lamanya.
Menjaga Pemberian Allah
Harta,isteri, anak,dan ilmu pegetahuan yang diberikan
oleh Allah harus dipelihara dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Harta
benda misanya harus dipergnakan sebaik mungkin untuk mencari ridha Allah, baik
untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun untuk kepentingan umat.
Demikian pula halna dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki harus
dimanfaatkan untuk kesejaheraan umat manusia.
Menunaikan Tugas dari Allah
Manusia dberi kepercayaan/aanah oleh Allah untuk menjadi
pemimpin/khalifah di muka bumi ini. Amanah yang berat ini semula
ditawarkan kepada bumi,langit, dan gunung-gunung .Hal ini sebagaimana
difirmankan oleh AllahSwt dalam S. Al Ahzab 72:
Artinya:” Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah keada langit, bumi, dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu karena mereka
khawatir (tidak kuat memikul) bahkan khawatir untuk menghianatinya. Kemudian
amanah itu dibebankan kepada manusia. Sesungguhnya manusia itu dhalim dan amat
bodoh”. Semua tugas yang dibebakan kepada manusia harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Sebab apapun yang dikerjakan manusia harus
dipertanggungjawabkan.
Tidak Menyalahgunakan Kedudukan/jabatan.
Kedudukan
adalah kepercayaan/amanah dan sekaligus kehormatan,baik kedudukanformal atau
kedudukan nonformal. Apabila orang mampu menjaga kedudukannya secara baik, maka
dia akan tetap memiliki wibawa dan pengaruh meskipun secara formal tidak
menduduki jabatan (struktural) lagi.Sebaliknya betapa banyak orang
yang hancur namanya begitu turun dari kedudukan dan jabatannya.
Bahkan keluar rumah saja tidak berani.Ini semua sebagai akibat menyalahgunakan
kedudukan dan jabatannya untuk kepentingan prbadi, partai, maupun kroni-kroninya.
Lasa Hs
0 Komentar