Mas Kunto, begitu panggilan akrabnya.
Beliau dilahirkan di kalangan Muhammadiyah dan dunia seni. Ayahnya seorang
anggota Muhammadiyah dan dalang. Budayawan muslim dan penulis produktif ini
telah banyak memberikan pemikirannya kepada Muhammadiyah, dunia sastra,
sejarah, dan kebudayaan. Buku sebagai produk intelektual dan artistik menjadi
koleksi berbagai perpustakaan dan masih bisa kita baca, pelajari, dan
kembangkan. Maka pikiran penulis itu masih hidup dalam kematian jasadnya.
Guru besar sejarah FIB UGM itu telah
memberikan sumbangan pemikiran kepada Muhammadiyah antara lain dalam buku
berjudul Intelektualisme Muhammadiyah;
Menyongsong Era Baru. Dalam hal ini Prof. Syafii Maarif (Buya Syafi’i)
pernah menyatakan bahwa Kuntowijoyo merupakan sosok pemikir Islam yang sangat
berjasa pada umat Islam dan Muhammadiyah. Kritiknya memang pedas, namun hal itu
merupakan pemikiran yang sangat mendasar.
Pemikir muslim ini memang mendalami
sejarah. Baginya, mendalami sejarah adalah belajar kearifan. Memang beliau
mendalami dan menerapkan kearifan ini dalam kehidupan intelektual, budayawan,
sastrawan, dan penulis. Hidup untuk menulis, dan menulis agar tetap “hidup”
tampaknya menjadi filosofi hidupya. Beberapa buku sebagai produk intelektual
dan artistiknya antara lain; 1)
Intetektualisme Muhammadiyah;Menyongsong Era Baru; 2) Kereta Api
Berangkat Pagi Hari (novel, 1966); 3) Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga, (cerpen, 1968); 4)
Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976); 5) Mantra
Penjinak Ular (cerpen, ; 6) Identitas
Politik Umat Islam; 7) Paradigma
Islam; Integrasi Ilmu sejarah; 8) Demokrasi dan Budaya; 9) Pengantar Ilmu
Sejarah; 10) Dinamika Umat Islam
Indonesia (1985); 11) Budaya dan Masyarakat (1987); dan 12) Radikalisasi Petani
dan masih banyak lagi.
Kesadaran
dan semangat menulis seharusnya menjadi karakteristik seorang intelektual.
Bukan sekedar gelar yang berjajar. Kesadaran dan semangat inilah yang tetap
membara, meski mengalami serangan virus enchepalitis pada 6 Januari 1992.
Beliau tetap menulis sampai pada detik-detik terakhir hayatnya. Mas Kunto biasa
bangun pukul 03.00 dinihari lalu shalat tahajud dan berdzikir sampai menjelang
subuh. Begitu waktu shubuh tiba, beliau melaksanakan shalat shubuh. Seusai
shalat, dzikir, dan mengaji lalu meneruskan menulis. Rata-rata dua hari sekali,
beliau berjalan-jalan bersama isteri (Ibu Dra. Susilaningsih) sekitar 5 km untuk melemaskan otot-ototnya.
Setelah sarapan pagi, lalu menulis lagi. Siang hari tidur sejenak, lalu bangun
dan menulis lagi sampai sore hari. Kemudian sehabis shalat Isya’ beliau menulis
lagi sampai larut malam.
Pada suatu
hari Minggu, mereka berdua berjalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren Yogyakarta
lalu putar-putar menuju Nogotirto untuk menengok rumah milik putranya. Setelah
dirasa cukup, lalu pulang dan masih sempat mengetik naskah buku Mengalami Sejarah. Bahkan beliau sempat
menyatakan bahwa beliau akan menulis buku tentang Muhammadiyah dalam rangka menyambut
Muktamar Muhammadiyah di Malang (2005).
Seperti
biasanya, Pak Kuntowijoyo mengetik dulu di Minggu sore itu dan setelah selesai
dan dirasa capai lalu istirahat. Minggu malam itu, beliau tidur pada pukul
22.30. Kemudian pada pukul 24.00 beliau merasakan sakit di pinggangnya dan
diobati oleh Ibu Susilaningsih (isterinya). Namun pada pukul 03.00 dinihari
beliau menderita diare lalu dibawa ke rumah sakit Prof. Dr, Sardjito Sekip
Yogyakarta di Paviliun Cendrawasih sampai sore hari. Di Paviliun ini kondisinya
semakin menurun dan pada puku 20.00 beliau dirawat di ICU RS Prof.Dr.Sardjito.
Berbagai upaya telah ditempuh, namun takdir tak dapat ditolak. Beliau
menghembuskan nafas terakhir pada pukul 16.00 tanggal 22 Februari 2005. Beliau
meninggalkan pemikiran-pemikiran yang telah terekam dalam buku yang Insya Allah
menjadi ‘ilmu yuntafa’u bih dan amal jariyah. Perlu disadari
bahwa otak kita berisi jutaan informasi dan ilmu. Untuk apa?. Otak itu mungkin
hanya akan menjadi santapan cacing di kubur nanti. Sebaiknya kita tulis dan
rekam mumpung masih ada waktu.
Saemuri
0 Komentar