HAMKA – di “penjara” pun
Menulis Buku
Kata orang, bahwa orang yang
cerdas adalah mereka yang bisa membaca peluang, mampu memanfaatkan peluang, mau
menciptakan peluang, dan berhasil mengembangkan peluang. Buya Hamka adalah
salah satu orang yang memenuhi kriteria ini. Beliau doktor, setelah banyak
menulis buku. Bukannnya doktor yang tak punya buku.
Ulama
kharismatik, ketua MUI pertama kali itu juga seorang pujangga, penulis buku
produktif, dan da’i yang disegani di kawasan Asia Tenggara bahkan Jepang. Buku-bukunya
masih bisa ditemukan di toko buku dan perpustakaan antara lain; Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi
Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau, Menghadapi Revolusi, Dari Lembah
Cita-Cita. Novel-novelnya antara lain; Di
Bawah Lindungan Ka’bah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan
Di Tepi Sungai Dajlah.Buku-buku ini
ditulis sejak bertemu dengan Thaha Husein (tunanetra penulis buku Al Ayyam, dan pernah menjadi Menteri
Pendidikan Mesir) dan Fikri Abadah.
Menurut
penuturan drh.H.Taufik Ismail seorang budayawan dan sastrawan bahwa ketika PKI
(Partai Komunis Indonesia) berjaya dan Masyumi mengalami penurunan, Buya Hamka
dijelek-jelekkan oleh orang-orang PKI melalui rubrik Lentera d Harian Bintang Timur. Suatu ketika Buya Hamka
menghadiri walimatul ‘ursy anak seorang sejawatnya. Di situ, beliau terlibat
pembicaraan dengan kawan-kawan lama. Entah bagaimana lalu muncul fitnah bahwa
Buya Hamka dan teman-temannya bermaksud membunuh Bung Karno dan Menteri Agama
saat itu (Syaifuddin Zuhri). Dari fitnah keji itu, Buya Hamka ditangkap dan
dipenjarakan selama 2 tahun 4 bulan. Namun hikmah dari penjara tanpa proses
hukum ini adalah beliau berhasil menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang 30 juz itu.
Di penjara ini, beliau memanfaatkan peluang untuk menulis. Tetapi yang bebas,
tidak dipenjara tak menulis buku.
Hamka
bukanlah tipe pendendam dan sakit hati yang dibawa mati. Beliau menunjukkan
jiwa besar dan sikap bijaknya. Ketika Bung Karo wafat, Buya Hamka memaafkannya.
Bahkan beliau mengimami shalat jenazah untuk Sang Proklamator itu. Ketika
ditanya mengapa Buya mau menshalatkan Bung Karno yang pernah mendhaliminya.
Beliau dengan singkat menjawab “Beliau adalah sahabat saya”. Beliau tetap
menjalin silaturrahmi dengan keluarga Bung Karno. Sehingga tidak ada dusta
diantara kita.
Pahlawan
Nasional ini, dipanggil pulang ke Rahmatullah tanggal 24 Juli 1981 dengan
meninggalkan ilmu pengetahuan kepada kita dalam berbagai bidang sepeti politik,
agama, kebudayaan, filsafat, tasauf, sastra, dan lainnya. Beliau masih hidup
(ilmu, pikiran,) meskipun mati (jasadnya).
Buya
Syafi’I Ma’arif dalam Suara Muhammadiyah 3 Syawal 1435 H menyatakan : Benarlah
penglihatan Sutan Mansur, bahwa Hamka adalah orang besar yang bertahun-tahun
ditempa penderitaan, dan membuatnya menjadi manusia tahan banting dan halus
perasaaannya. Penderitaan yang dialaminya justru menjadi tangga emas baginya
yang terus berkarya dan beramal :mencari jalan pulang”. Maka tak heran berjibun
rakyat dari segala lapisan masyarakat menangisi kepergiannya. Sebab yang pergi
itu mewakili hati nurani mereka.
Prof.
Dr. Shawki Futaki, Presiden Japan Islamic Congress menyampaikan pesan dukanya
dengan kalimat :” Atas nama 50.000 umat Islam Jepang, kami sampaikan rasa duka
cita yang mendalam atas berpulang ke rahmataullah Prof.Dr.Hamka, tokoh Islam
Indonesia yang bagi kami adalah seorag pemimpin yang telah memberi bimbingan
selama 4 tahun terakhir. Banyak bimbingan Buya Hamka bagi kemajuan umat Islam
Jepang. Umat Islam Jepang benar-benar merasa kehilangan seorag tokoh yang
selama ini dirasakan sangat dekat.
(sumber : 100 Tokoh Muhammadiyah, yang Menginspirasi,
2014)
Saemuri Yogya.
0 Komentar