Dalam islam,
hidup adalah suatu fase untuk mempersiapkan kematian. Fase dimana kita
berlomba-lomba untuk mengumpulkan bekal amalan sebanyak-banyaknya untuk di
akhirat. Sayangnya, tidak sedikit
manusia lalai dan terhanyut dengan arus “manisnya” dunia, sehingga hanya
fokus untuk menguras kenikmatan duniawi dan bersusah payah untuk memenuhi rasa
“haus” mereka akan gemerlapnya kehidupan dunia.
Wajar apabila kita selaku manusia memiliki rasa keinginan untuk
mendapatkan sesuatu, namun terkadang apa yang kita inginkan itu belum tentu
menjadi hal yang sebenarnya kita butuhkan dan kita tidak harus memenuhi rasa
ingin tersebut, seperti yang tercantum dalam Q.S. An-Naziat ayat 40-41, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”.
Trend lah yang
membuat kita merasa terkejar untuk bisa mengikutinya, dan gengsi lah yang
menjadi faktor pendorong terbesar. Gengsi sudah menjadi harga mati bagi mereka
yang sudah terlanjur terseret arus modern yang semakin lama semakin maju. Bagi
kaum hedon, sudah kewajiban mereka untuk mengikuti trend dunia tanpa memikirkan
“sebenarnya butuh banget gak sih?”. Mungkin dalam hati kecil mereka mengatakan
“jangan sampai aku kudet” atau “aku harus lebih kece dari dia”, atau mungkin
“jangan sampai aku dipandang rendah”. Gengsi memang segalanya untuk mereka yang
berfikir demikian.
Tidak sedikit
orang yang meninggal dunia dalam keadaan yang banyak harta, tapi sedikit pahala.
Hal tersebut bisa dilihat dari gaya hidupnya yang selalu berusaha mengejar
materi dan materi, sehingga lalai dalam ibadahnya dan menyampingkan peran Allah
dalam hidupnya. “Dunia adalah penyihir
yang lebih hebat dari Harut dan Marut, dan kamu harus menghindarinya.” (Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani). Sungguh orang yang merugi orang-orang yang bernasib
seperti itu. Mereka diberi umur yang panjang, tapi umur tersebut hanya
dihabiskan untuk menjadi budak uang di dunia.
Sepatutnya kita
bisa menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Q.S. Al-Qashash:77). Kenikmatan di dunia kadang melalaikan seseorang akan
kehidupan akhirat. Padahal Allah SWT memerintahkan kita agar menyeimbangkan
keduanya, karena sesungguhnya posisi kita di dunia hanyalah seperti musafir
yang hanya “mampir” untuk mencari minum dan selanjutnya berjalan menuju ke
tempat tujuan, yaitu akhirat. Dan semua harta benda yang kita miliki kelak akan
dipertanggung jawabkan di akhirat.
Dapat
disimpulkan bahwa kita sebenarnya boleh untuk mengais apa yang ada di dunia,
namun akan lebih bijaknya apabila kita menggunakan itu untuk jembatan kita
mendapatkan amal, contohnya seperti kita bekerja dan uang tersebut sebagian
disisihkan untuk dijalan Allah seperti shodaqoh, infaq dan lain sebagainya.
Karna jangan sampai uang kita hanya dihabiskan untuk memenuhi rasa gengsi yang
ada dalam diri kita J
Aidilla
Qurotianti
Perpustakaan
UMY
0 Komentar